Jumat, 13 Desember 2013

Belajar Ketangguhan dari Negeri dengan Seribu Cerita Lirih




Judul Buku : Rinai
Penulis       : Sinta Yudisia
Penerbit     : Afra Publishing
Terbit         : Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1433/ November 2012
Jumlah Halaman : 400 Halaman
ISBN         : 978-602-8277-65-5
Harga         : Rp 45.000
----------------------------


Rinai, menceritakan tentang seorang gadis bernama unik, -Rinai Hujan- katanya sih dianggap lucu dan aneh oleh sebagian kawan kecil dan kawan sekolahnya. Namun bagi saya nama itu manis dan puitis sekali. Eits... lupakan dulu pendapat saya ya! kali ini saya pengen banget belajar menulis resensi dengan mengulas isi, unsur-unsur intrinsik, ekstrinsik serta pesan-pesan yang dapat saya tangkap di dalamnya.

Rinai yang tumbuh di antara keluarga besar Jawa yang teguh dengan segala adat istiadat yang menempatkan perempuan sebagai fihak yang (selalu harus) mengalah, acapkali sering tak punya 'suara' meski ia punya penghasilan dan mampu berpijak pada kaki sendiri, bahkan juga menopang kaki saudara laki-lakinya yang gagal menjadi 'orang'. Dominasi keluarga besar sangat mempengaruhi dan menentukan segala bidang kehidupan. Hmmm....

Saat kuliah di fakultas Psikologi, Rinai mendapati seorang dosen kharismatik bernama Nora Efendi, Rinai seolah menemukan sosok idola lain selain ibunya yang tegar dan lembut hati, Bunda Rafika. Nora adalah sosok yang begitu kuat, pintar dan menunjukkan diri secara elegan bahwa dia juga punya 'suara'. Rinai seringkali menganalisis dan membanding-bandingkan dua perempuan tersebut. Hingga suatu waktu ia dihadapkan pada perjalanan kemanusiaan bersama Nora Efendi dan beberapa relawan asal Indonesia ke daerah konflik, Gaza Palestina. Relawan yang terdiri dari tim medis, jurnalis dan juga tenaga Psikologi. Sebuah niatan kemanusian, memberikan bantuan selain makanan, obat, tenaga medis juga tenaga Terapis untuk membantu pemulihan trauma pasca perang.

Perjalanan yang tidak ringan, menembus perbatasan Rafah bukan perkara mudah. Digambarkan dengan detail betapa rumitnya prosedur dan betapa mengerikannya tentara Israel yang menjaga perbatasan. Rinai yang tergabung bersama relawan Indonensia banyak melihat fakta tentang negeri para Nabi itu. Penulis yang memang pernah mengunjungi kota Gaza itu selain bisa menggambarkan tempat-tempat dengan detail, juga bisa begitu hidup dalam menggambarkan getir, kewaspadaan sekaligus kepasrahan penduduk yang tinggal di tanah yang sewaktu-waktu dijatuhi bom oleh Israel. Negeri dengan seribu cerita lirih, pedih dan menyesakkan dada.

Konflik terjadi antar relawan, saat Rinai menyadari bahwa tugas kemanusiaan itu ditunggangi maksud-maksud lain yang menodai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dia pelajari sungguh-sungguh di kampus ternyata bisa dimanipulasi demi sebuah kepentingan yang Rinai tak mengerti, seperti buah simalakama ketika riset dengan hasil luar biasa harus diberitakan ke dunia luar dengan kebalikannya yang sangat jauh, nurani terdalam menyatakan bahwa ia merasa 'sakit' jika harus menjadi bagian kebohongan yang terkoordinasi itu, kebohongan yang katanya demi kepentingan bersama, demi penduduk Gaza juga. Ia selalu berpegang bahwa kejujuran adalah akar pengetahuan yang paling benar, yang akan memandu manusia menemukan jalan keluar dari berbagai macam persoalan. Namun harga sebuah 'suara' dalam kondisi rumit semacam itu menjadi samar, tertekan dan membuat dia terkucilkan.

Berbagai dialog hati Rinai dituturkan secara dalam dan membuat pembaca harus ikut merenung, juga memaknai setiap gurat kata bersayap yang dituangkan mbak Sinta Yudisia ini. Penceritaan tentang Palestina terasa menyentuh dan mengobarkan rasa takjub luar biasa. Dari Gaza, Rinai mendapat banyak pelajaran tentang ketangguhan bertahan, ketangguhan mempertahankan setiap jengkal tanah tempat mereka dilahirkan. Kemampuan bertahan yang tentu didapat bukan dengan menangis dan meratap. Dalam keadaan serba terbatas, terblokade, mendapat tekanan ekonomi dan konspirasi masyarakat internasional, suatu kelompok masyarakat tetap survive, tetap cerdas, bahkan melampaui mereka yang tinggal dalam situasi normal.

Ada beberapa romansa yang (agaknya) diselipkan sebagai pemanis kisah. Antara Rinai, Amaretta, Orion dan juga Montaser, si pemuda Gaza. Romansa yang tak betul-betul romansa, karena kisahnya hanya berasa dalam alam dialog jiwa Rinai seorang.

Jalinan kisah yang bebobot dan bertabur perenungan dalam setiap sisinya ini sarat pesan moral akan nasionalisme yang terkadang kurang terpatri di hati. Sebuah kemerdekaan begitu terasa penting ketika membersamai orang-orang yang tengah berjuang tak kenal lelah, berkorban berliter darah, anggota tubuh dan bahkan nyawa demi keluar dari cengkeraman kuku penjajahan.

Novel yang bagus namun pasti bukanlah sempurna. Dengan penuh kerendahan hati saya ingin memberi keseimbangan penilaian terhadap novel ini. Dalam berbagai kelebihan tentu saja ada kekurangan yang saya temukan. Novel yang sarat pesan ini agaknya berat dicerna dan kurang membumi, dikarenakan bertaburan istilah dan kajian ilmu psikologi seolah-olah sedang membaca materi kuliah. Belum lagi istilah-istilah asing yang keterangannya diletakkan di halaman belakang, bukan di bawah sebagai footnote seperti buku-buku lain yang mempermudah pembaca, tak perlu ribet membalik-balik halaman ketika ingin mengetahui maknanya.

Dan satu lagi, bagian yang agaknya saya tak menemukan maksudnya kenapa dimasukkan dalam cerita. Tentang mimpi Ular yang sering dialami Rinai, disebutkan pada prolog, petengahan dan jelang ending, tak banyak hubungan yang bisa menjelaskan harus ada bagian itu untuk cerita keseluruhan, seolah hanya menambah deret ulasan materi kuliah psikologi yang bagi saya rumit dan membingungkan  itu hehehe.. maaf, akhirnya saya nggak tahan juga untuk menampilkan pendapat pribadi yang sangat dipastikan didasari kepada selera.

Oh iya, tentang kaver, terlihat elegan dengan warna coklatnya dan juga siluet rumah-rumah penduduk Gaza yang bebentuk kubus. Secara tidak langsung sudah menggambarkan isi buku didalamnya, yang membhasa tentang negeri para Anbiya' itu. Desain isi buku juga bagus dengan ukuran huruf yang bersahabat dengan mata, ada beberapa typo yang bagi saya masih dalam batas toleransi. 2 sampai 5 salah ketik menurut saya masih belum terlalu menggangu kenyamanan membaca.

Bagiamanakah kelanjutan konfilk yang terjadi diantara para relawan dan Rinai? romansa dan juga kelanjutan kisah keluarga besarnya di Indonesia? tentu saja semua hanya bisa diketahui dengan membaca lengkap lembar demi lembar yang mencapai 400 halaman ini.

Dan terlepas kelebihan dan kekurangannya, bagi saya novel ini layak direkomendasikan buat pembaca yang ingin mengetahui Gaza, Palestina secara detail, suka dunia psikologi, dan ingin memantik rasa nasionalisme yang mungkin agak memudar dalam diri.(*)

Tulisan ini diikutkan dalam lomba Resensi Indiva.







9 komentar:

  1. keren mba, saya pernah baca juga novel ini :)

    BalasHapus
  2. Belum baca yg ini, tapi ulasan psikologi mba Sinta jg ada di existere :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang existere ga punya sy mbak.. punyanya yg judul Mawar.. lbh suka yg itu, tdk membuat kening berkerut hehe

      Hapus
  3. sepertinya aku bakal suka dengan buku, aku suka dunia psikologi :D
    Ohya mbak, kalau membaca buku-bukunya Dan Brown, lebih berat lagi lhooo...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahaha.. selera emang ga bisa dipaksakan ya mbak.. buku ini meski bingung mencerna ulasan psikologinya tapi saya menikmati jalinan kalimatnya itu.. kalimat bersayap, sastra yang menawan :)

      Hapus
  4. Rinai di rumah belum kelar baca, sama kesannya, awal2 udah dibuka dengan sangat serius ")

    BalasHapus
  5. saya juga nulis resensi ini lho mba Binta :) http://ridhodanbukunya.wordpress.com/2013/12/28/rinai-sepak-terjang-relawan-di-bumi-gaza-lomba-menulis-resensi-buku-indiva-2013/

    BalasHapus
  6. Aku juga suka covernya mbak.. font judulnya itu juga manis banget. Gutlak ya mbak Binta :)

    BalasHapus

Mari bersilaturrahmi dan berbagi informasi dengan meninggalkan komentar disini. Kami lebih menyukai komentar yang santun dan sesuai dengan konten isi postingan yaaa.. ^^