Senin, 04 November 2013

Haruskah Menitipkan ‘Titipan’ dan Belajar Tega?

Resensi saya yang pernah dimuat di Website Dakwatuna.com : 





Judul      : Rumah Surga yang dirindu Wanita.
Penulis   : Jazimah Almuhyi
Penerbit : Pro U Media
Jumlah halaman : 188.
Cetakan I : 2012
ISBN    : 979-1273-94-4
-------------------------------------------------------


Ketika isu kesetaraan gender dikumandangkan. Banyak tokoh yang menyuarakan agar perempuan menjadi berani berpendapat untuk jangan hanya menjadi konco wingking, untuk tidak ‘hanya’ berkutat di wilayah dapur, sumur dan kasur saja. Menyuarakan agar para perempuan juga harus berkiprah di publik. Sebuah tema yang kesannya ingin mengangkat derajat kaum perempuan, namun secara bersamaan juga sangat berpotensi menenggelamkan rasa percaya diri perempuan yang ingin berkiprah sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya. Perempuan yang sebelumnya merasa ‘baik-baik saja’ menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga full tanpa karier di luar atau pekerjaan rumahan yang menghasilkan sesuatu bernama uang atas nama finansial.

Fenomena itulah yang menjadikan spirit bagi Jazimah Almuhyi (seorang penulis sekaligus ibu rumah tangga) untuk menulis buku ini. Yang inti dari keseluruhan isinya adalah mengajak para ibu untuk kembali ke rumah, kembali pada fitrah dan kodratnya sebagai pengasuh dan pendidik putra-putrinya sejak dini. Selain itu juga mengajak para ibu yang semula merasa baik-baik saja ‘hanya’ berada di rumah, melayani suami dan anak dan mengurus rumah tangga namun mendadak harus merasa tak berharga dan runtuh percaya diri karena jargon-jargon yang diteriakkan oleh mereka yang menyatakan sebagai pembela hak asasi perempuan. Buku ini mengajak mereka untuk bangkit, kembali tersenyum penuh semangat dan percaya diri.

Sungguh bukan perkara mudah bagi wanita karier yang sudah mempunyai pekerjaan bagus, gaji yang cukup dan ritme kerja yang sesuai dengan minat dan bakatnya untuk meninggalkan semua itu, kemudian hanya fokus mengasuh anak dan keluarga. Anak merupakan titipan Tuhan YME yang selalu diharapkan dan dinanti-nantikan oleh setiap pasangan yang meniti jenjang pernikahan.

Sering terjadi dan terlihat di sekitar kita sebuah fenomena ‘menitipkan titipan’ manakala sang ibu harus bekerja. Adakalanya menitipkan anak kepada orang tua, kerabat atau pengasuh anak. Naluri keibuan yang sebenarnya tidak tega dan merasa bersalah terkadang harus dipaksa untuk belajar tega demi tuntutan pekerjaan. Menurut penulis, adalah hal yang aneh ketika perempuan harus belajar untuk tega, menguatkan diri melawan naluri kasih sayangnya kepada anak demi karier yang sebenarnya bukan kewajibannya.
Dan logika paling fakta yang dituturkan penulis adalah : orang yang dititipi titipan itu kadang kala tidak lebih terdidik dari ibu si anak. Kalau pembantu dan pengasuh anak pendidikannya lebih tinggi dan pengetahuannya tentang teori pendidikan anak lebih baik maka dipastikan mereka tak memilih profesi sebagai pembantu bukan?

Ibu juga manusia, yang pastinya punya nurani yang pasti mengatakan ‘seharusnya saya tidak meninggalkan anak-anak saya dari pagi hingga sore bersama orang lain’. seringkali wanita karier yang mempunyai balita berkeluh kesah, ketika di tempat kerja ingat rumah, namun ketika di rumah ingat pekerjaan. Sehingga diapun tidak bisa fokus dan maksimal menghandle keduanya. Berkenaan dengan hal itu, pada halaman 29 buku ini ada quote yang menarik untuk direnungkan : “Rasa bersalah itu adalah suara nurani, dengarkanlah ia!!.. karena jika kerap tidak didengarkan maka lama kelamaan ia akan berhenti bicara”.

Nah, ketika para ibu sudah mendengar kata nuraninya. Terkadang masih saja ada kendala untuk merealisasikan niat back to home. ada yang merasa tidak nyaman bergantung kepada suami, ekonomi keluarga dirasa masih belum cukup, menimbang rasa orang tua yang telah menyekolahkan mahal, dilarang suami resign, sampai tanggung jawab dakwah. Dalam buku ini dibahas dengan argumentasi yang berdasarkan pengalaman dan pengamatan langsung si penulis. Tentu saja juga tinjuan secara syari’at yang diambil dari sumber-sumber yang dapat dipertanggung jawabkan.

Bahkan penulis juga menyertakan sebuah rencana hebat. Terkesan muluk-muluk namun jika dipikirkan dengan seksama ternyata semua itu masuk akal. Bahwa dengan kembali fokus momong anak-anak kita sendiri di rumah sebenarnya para ibu juga punya andil untuk merubah wajah bangsa ini yang semakin carut marut dikarenakan banyaknya kemerosotan moral dan akhlak. Dengan didikan yang baik sepenuh waktu, maka sangat mungkin anak-anak generasi mendatang bisa punya moral dan akhlak lebih baik.

Beberapa kisah nyata juga banyak dituturkan dalam buku ini. Kisah penulis sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Kesemuanya akan mengantar kita pada perenungan untuk mendengarkan nurani sebagai ibu dan perempuan yang merindukan surga sebagai tujuan akhir semua perjalanan.


Cocok dibaca untuk para perempuan baik ibu rumah tangga maupun perempuan yang menjalani karier sebagai bahan penyemangat agar tak mudah mengeluh dan juga ajakan perenungan terhadap jalan hidup beserta segala konsekwensinya. 

2 komentar:

  1. patut dibaca ya ...mencerahkan. dan manis sekali kalimat ini “Rasa bersalah itu adalah suara nurani, dengarkanlah ia!!.. karena jika kerap tidak didengarkan maka lama kelamaan ia akan berhenti bicara”.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, buku ini jd penguat sy kalau didera depresi bosan dirumah hehe..

      Hapus

Mari bersilaturrahmi dan berbagi informasi dengan meninggalkan komentar disini. Kami lebih menyukai komentar yang santun dan sesuai dengan konten isi postingan yaaa.. ^^